Setelah sekian lama tak membaca novel, akhirnya saya membaca novel rekomendasi teman dengan judul Di Tanah Lada karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie. Novel ini mendapat penghargaan pada tahun 2014 lalu dengan menyabet gelar pemenang kedua dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta. Sebuah ajang yang sangat bergengsi.

Pada awal-awal saya membaca novel ini, saya pikir ini adalah novel anak karena cerita dijelaskan secara sederhana, jelas, dan bahkan sudut pandang orang pertamanya adalah anak-anak. Namun, tentu saja bukan novel anak karena novel ini berjumlah 240 halaman dengan konflik-konflik cerita yang cukup berat. Selain itu, topik utama yang Ziggy soroti dalam novel ini adalah kekerasan dalam rumah tangga yang diceritakan cukup banyak dan dialami oleh dua tokoh. 

Penulis mengambil sudut pandang orang pertama dari tokoh utama bernama Salva, yang biasa dipanggil Ava, seorang anak perempuan berusia enam tahun (dan baru diketahui namanya pada halaman 64). Pada awal-awal bab, saya bahkan mengira tokoh utama ini adalah seorang laki-laki karena memang tidak dijelaskan ciri-ciri fisik dan sifat sang tokoh utama. Ava hidup dengan seorang Mama yang baik hati dan Papa yang jahat karena Papanya sering bermain kasar kepada anak dan istrinya (yang baru diketahui namanya adalah Lisa dan Doni pada halaman 84). Dia juga memiliki 'idola' yakni kakeknya bernama Kakek Kia, yang sering berpetuah bijak dan mengajarkan bahasa yang baik dan benar kepadanya. Bahkan, Kakek Kia memberikan kamus bahasa Indonesia agar Ava bisa mudah paham dengan kata-kata yang terlontar dari orang dewasa. Akibatnya, Ava tumbuh dengan bahasa Indonesia yang terkesan baku.


Konflik yang Sering Disorot

Konflik dimulai saat Ava dan keluarganya harus pindah ke Rusun Nero (rusun yang digambarkan begitu kumuh, jelek, dan menyeramkan). Mereka pindah atas keputusan Papa Ava yang ditinggali harta warisan saat Kakek Kia meninggal. Papa Ava memutuskan untuk menjual rumahnya agar makin banyak uang yang dimiliki demi bermain judi. Selain banyaknya kekerasan yang dilakukan oleh Papa Ava kepada Ava dan Mama Ava, konflik berlanjut saat Ava bertemu dengan seorang anak laki-laki yang sering membawa gitar, dia bernama P, berusia sepuluh tahun. Ternyata, si P ini juga memiliki seorang Papa yang selalu melakukan kekerasan terhadap P (bahkan jauh lebih kejam daripada Papa Ava). Akibat pertemuan ini, Ava dan P bersahabat dan memulai petualangan mereka. 

Mereka sering berkunjung dan main ke rumah Kak Suri, juga Mas Alri, untuk sekadar bercerita atau mendapatkan hal baru. Akibat petualangan mereka yang berbahaya pula, tokoh Kak Suri dan Mas Alri berperan sebagai penolong dua anak ini. Ava dan P juga dikisahkan sebagai dua anak yang merasa senasib (menganggap semua papa adalah jahat) dan akhirnya mereka tak ingin berpisah. Di bab-bab akhir, petualangan mereka (yang tentu belum mendapat izin dari Mama Ava) berakhir pada sebuah tempat di daerah rumah Nenek Isma alias neneknya Ava (meski diceritakan masih di sebuah pulau menuju rumah neneknya), yakni Tanah Lada. Di sana, mereka akhirnya bertemu dengan bintang-bintang di langit yang mereka idam-idamkan selama di Jakarta agar bisa berdoa di bawah taburan bintang. 


Ending yang Bikin Bengong

Namun, cerita ini memilik ending yang mengejutkan. Selain karena P akhirnya mengetahui siapa papa dan mama yang sebenarnya, mereka juga memutuskan untuk melakukan sebuah hal yang bagi saya di luar nalar anak kecil. Cukup begitu 'gelap' dan kaget. Meski masih bisa dimaklumi dengan ajakan P kepada Ava untuk 'menantang diri' dengan dalih akan bereinkarnasi dalam bentuk yang lain (yang saya anggap sebagai imajinasi anak-anak), keputusan yang sungguhan dilakukan memang membuat saya tercengang. Secara subjektif, bagi saya, rasanya tak ingin cerita berakhir seperti itu. Pada bagian ini, saya juga merasa mereka mendadak begitu filosofis. Dari percakapan-percakapan terakhirnya, mereka terlihat seperti pasangan filsuf yang tiba-tiba berubah menjadi dewasa. Di bagian-bagian akhir cerita, sudut pandang Ava juga seakan 'dimasuki' oleh bahasa penulis yang tampak 'lebih dewasa' sehingga terdapat perbedaan yang cukup kentara dari gaya bahasa Ava yang semula tampak murni seperti anak kecil. Hal-hal inilah yang sedikit mengganjal bagi saya.    


Kecerdasan Penulis

Terlepas dari itu semua, saya begitu mengagumi gagasan dan cara penulis dalam membangun dan menulis cerita. Ziggy pintar bermain logika dari kacamata anak kecil yang lugu. Dia benar-benar bisa menyentuh pemikiran anak usia enam tahun (karena saat saya membaca novel ini, saya merasa kembali ke masa usia enam tahun dengan gaya berpikir yang miriiip dengan Ava). Ziggy betul-betul mampu menggambarkan jalan pikiran anak-anak yang sering diremehkan oleh orang dewasa. Penulis juga mampu menggambarkan tokoh saat menghadapi konflik dengan tanggapan sederhana khas anak kecil (meski di otak tokoh penuh dengan beragam pertanyaan dan spekulasi). Nalar dan sikap tokoh bahkan berhasil menyentil pembaca, tak jarang juga membuat pembaca terkekeh. 

Meski menggunakan sudut pandang anak-anak, penulis mampu menyampaikan cerita dengan sangat deskriptif. Dia juga pintar dalam memainkan dan membolak-balikkan kata-kata. Misalnya, dalam kutipan berikut.

"Aku tahu beberapa orang yang namanya dimulai dengan huruf P. Aku juga tahu beberapa orang yang namanya diakhiri dengan huruf P. Ada juga beberapa orang yang di tengah-tengah namanya ada huruf P. Juga, orang yang namanya tidak diakhiri dengan huruf P, maupun yang di tengah namanya tidak ada huruf P." 

Meski terlihat seperti sepele dan membuang-buang waktu, kalimat penjelasan ini justru membantu mendeskripsikan pikiran anak di usia-usia seperti Ava.

Satu hal lagi yang membuat cerita ini unik dan membuat saya penasaran untuk terus melanjutkan bacaan adalah adanya kesan misterius pada beberapa tokoh. Para tokoh tiba-tiba muncul dengan karakternya, lalu pembaca baru mendapat 'pencerahan' tentang siapa tokoh itu pada bagian tengah atau bahkan akhir cerita. 

Untuk novel yang unik ini, saya memberi rating 4/5. Untuk yang sedang ingin membaca novel ringan, tetapi penuh plot twist, saya sarankan untuk membaca novel ini. Oh iya, saya juga membaca novel ini di aplikasi iJakarta (karena di ipusnas ngantre terus hehe) yang tentunya gratiiss. Selamat membaca!


Related Posts