![]() |
Kampung Naga |
Bertahun-tahun rasa penasaran itu tersimpan dalam ingatan, tapi bertahun-tahun itu pula saya tidak menyengajakan diri untuk datang ke sana, padahal beberapa tahun lamanya saya pernah tinggal di Tasik, kota tempat Kampung Naga ini berada.
Jadi, bagaimana akhirnya saya datang ke tempat ini? Ketika itu, saya dan kumpulan teman kuliah saya gagal untuk berangkat ke Baduy (seperti kebanyakan kaum remaja kolot usia 25+ yang masih young dan free—yang tiba-tiba aktif naik gunung, tiba-tiba jadi atlet, atau tiba-tiba ingin berkunjung ke sana dan ke sini). Meski sempat sedih, saya coba mencari tempat lain, atau minimal versi lite Baduy, yang masih bisa dijangkau dengan vibe yang sama. Akhirnya, saya memutuskan untuk pergi ke Kampung Naga (karena kebetulan saat itu sedang berkunjung ke rumah nenek) dan mengajak sahabat SMA saya yang sejak awal masuk sekolah hingga lulus sebangku terus~
Perjalanan Menuju Kampung Naga
Meskipun masih di Tasik, waktu tempuh yang kami lalui saat itu membutuhkan 1,5 jam perjalanan menggunakan motor. Itu berarti, kami perlu waktu 3 jam untuk pulang dan pergi, dan selama itu pula teman saya yang menyetir—memang saya teman yang ga tau diri (maaf banget Ceu Ain, nanti diusahain belajar ngendarain motor meski ga berani-berani T_T).
Setelah sebelumnya saya kembali tinggal di Riau, saat perjalanan ini, saya sadar betapa rindunya saya dengan suasana jalan raya yang masih asri (terutama ke daerah menuju Kampung Naga), masih bisa melihat pohon menjulang tinggi, sawah terhampar luas, angin ngagelebug, merasakan perjalanan berkelok-kelok, bertemu dan bersilangan dengan bus budiman, bus primajasa, ataupun kolbak terbuka yang berisi sekumpulan orang bahagia. Tentu saja, kota ini lebih cocok untuk saya datangi sebagai tempat wisata atau tempat berkunjung ke saudara alih-alih kembali menjadi tempat tinggal. Skip.
Apakah ada transportasi umum untuk menjangkau Kampung Naga? Jujur, saya tidak tahu. Kampung Naga ini sebenarnya ada di pinggir jalan raya utama Garut-Tasikmalaya (dan terpisah 500 meter saja), tepatnya di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Jadi, saya pikir, ada bus atau transportasi umum tertentu yang melintasi jalan ini. Namun, memang saya sarankan lebih enak menggunakan kendaraan pribadi karena bisa saja jiwa bocah petualang yang tertanam sangat kuat dalam dirimu membawamu meneruskan perjalanan lagi hingga ke Pantai Karang Tawulan atau mungkin Pangandaran.
Dari jalan raya, kita akan melihat plang Kampung Naga dan akan langsung disuguhkan dengan sebuah lapangan cukup luas sebagai area parkir yang di sekelilingnya terdapat aneka tempat makan dan jajan. Saat itu, kami tiba kurang-lebih jam delapan pagi. Kalau informasi dari yang saya cari sebelum berangkat, parkir biasanya dikenai tarif lima ribu rupiah (kalau tidak salah). Namun, mungkin karena masih pagi atau lain hal, tidak ada tukang parkir yang berjaga, baik saat kami datang maupun pulang. Bagaimana dengan biaya masuk ke wilayah Kampung Naga? Gratis! Tapi, mohon diingat untuk senantiasa menghormati budaya setempat berikut warganya.
Saat tiba, kami memutuskan untuk jajan di sebuah kafe kecil, membeli susu jahe dan kopi untuk menyegarkan badan (yang harganya 10-15 ribu saja), kemudian bertanya letak gerbang masuk Kampung Naga (lurus ke ujung dari area parkir, gerbang masuk ada di sebelah kiri). Kami pun ditawari pemandu, tetapi kami memutuskan untuk berkeliling mandiri (tapi lain kali kalau berkunjung lagi, saya ingin menggunakan pemandu wisata).
![]() |
kopi dan susu jahe :) |
![]() |
tugu kujang pusaka di area parkir (terdapat tulisan laahaula walaa quwwata illaa billaah) |
Mengenal Kampung Naga
![]() |
gerbang masuk Kampung Naga |
![]() |
pemandangan Kampung Naga dari atas tangga |
Dari anak tangga terakhir, kita akan disuguhi sungai yang cukup besar, Sungai Ciwulan namanya, sebagai urat nadi kehidupan warga Kampung Naga. Perlu jalan beberapa meter untuk sampai ke kampung lokasi warga. Di sepanjang jalan, kita akan bertemu air terjun kecil dengan kupu-kupu kuning yang cantik beterbangan, bunga-bunga kecil di semak-semak liar yang dihinggapi juga oleh kupu-kupu dan lebah, gemericik aliran sungai yang menenangkan, serta pepohonan yang meneduhkan. Saat masuk ke area warga, pemandangan pertama yang kita dapati adalah bangunan rumah warga dan area kolam atau balong dengan banyak ikan. Ada pula induk ayam dan anak-anaknya yang berkeliaran mencari makan.
![]() |
kupu-kupu cantik beterbangan di Kampung Naga |
Bagaimana dengan naga? Bukan. Kata naga dalam "Kampung Naga" berasal dari bahasa Sunda: na bermakna di, sedangkan ga bermakna gawir (tebing yang curam), atau lebih lengkapnya adalah nagawir yang bermakna di tebing yang curam. Ini mendeskripsikan letak Kampung Naga yang berada di lembah, diapit oleh perbukitan dataran tinggi, bak mengisolasi diri dari dunia luar.
![]() |
aliran Sungai Ciwulan |
Bangunan-bangunan warga yang berjajar rapi memiliki model yang nyaris sama, yaitu dalam bentuk rumah panggung beranyam bambu dengan fondasi yang mengikuti kontur tanah. Atapnya berbentuk segitiga yang terbuat dari ijuk. Jalanan kampungnya adalah tanah dan susunan bebatuan. Di dalam satu kampung, terdapat 113 rumah (dikutip dari situs Bappeda Jabar), termasuk bangunan masjid, balai kampung, dan Bumi Ageung.
Bumi Ageung sendiri adalah bangunan sakral (ditandai dengan rumah beranyam bambu dengan ukuran yang lebih besar daripada rumah sekitarnya, juga dipagari bambu yang cukup tinggi). Perlu diketahui, Bumi Ageung ini tidak boleh dipotret. Kabarnya, Bumi Ageung merupakan bangunan sakral tempat pusat adat, tempat penyimpanan benda-benda pusaka, dan tempat dilaksakanannya upacara adat. Memotret atau mengambil gambar Bumi Ageung berarti mengambil atau mengganggu energi spiritual yang ada di tempat itu.
![]() |
Kampung Naga potret samping |
Di area kolam, ada saung lisung yang di dalamnya berjejer lisung dan halu untuk menumbuk padi. Ada pula beberapa kamar mandi warga yang masih aktif digunakan hingga sekarang.
![]() |
saung lisung |
![]() |
lisung |
Budaya dan Perekonomian Warga Kampung Naga
![]() |
Kampung Naga potret depan |
Salah satu hal yang menarik perhatian saat menginjakkan kaki di kampung ini adalah warga perempuan Kampung Naga masih menggunakan kain samping (sinjang) dengan baju atasan biasa. Sementara itu, warga laki-laki mengenakan baju seperti biasa, tidak menggunakan baju serbahitam atau telanjang dada seperti yang saya bayangkan dulu.
Oh ya, masyarakat Naga sudah banyak beradaptasi dengan dunia luar (mengingat memang letak wilayahnya tidak jauh dari jalan raya utama)—tentu dengan batas dan prinsip tertentu sesuai adat yang mereka pegang. Itu mengapa para warga sudah menggunakan sendal (tidak seperti yang saya bayangkan saat kecil), bahkan sudah menggunakan detergen dan sabun untuk mencuci dan mandi. Kamar mandinya pun, meskipun masih menggunakan konsep outdoor, sudah ada yang dipadupadankan menggunakan tembok.
![]() |
rumah bambu Kampung Naga |
![]() |
komplek Kampung Naga |
![]() |
rumah panggung |
![]() |
jalan di Kampung Naga (tanah atau bebatuan) |
Lalu, kalau begitu, apa bedanya dengan kita? Apakah hanya bentuk bangunannya yang unik?
Saya pikir, warga Kampung Naga cukup bijak untuk memilah mana yang bisa diambil dari perkembangan zaman dan mana yang tidak. Dengan tetap mempertahankan pola hidup Sunda Buhun, mereka masih melaksanakan adat-istiadat, menjaga hutan keramat, memanfaatkan lahan pertanian dengan baik dengan sistem organik, dan menjaga ketahanan pangan (setiap panen padi diperhitungkan untuk kebutuhan dalam setahun).
Hal-hal lain yang masih dijaga oleh mereka adalah tidak menggunakan listrik, kontur bangunan yang tidak pernah berubah (semua bentuk sama; rumah berbahan bambu, ijuk, tidak menggunakan logam; arah bangunan memanjang pada alur timur-barat; dan dirancang untuk mendukung mitigasi bencana), tetap menjaga hubungan harmonis dengan alam, serta menggunakan sistem sosial gotong-royong dan musyawarah yang dipimpin oleh kepala adat.
![]() |
atap rumah dari ijuk |
![]() |
menjemur di atap |
Dengan tetap adaptif pada perubahan zaman, perekonomian masyarakat Kampung Naga juga tidak lagi hanya bersandar pada bercocok tanam. Di dalam kampung, saya melihat ada yang berjualan jajanan hingga berjualan cendera mata yang bisa dibeli oleh stranger seperti kami.
![]() |
cendera mata Kampung Naga |
Saya sempat mampir ke salah satu rumah yang menjual cendera mata. Salah satu barang yang dijual adalah pouch putih bergambar wanita berkain samping yang sedang memanggul sesuatu (istilah Sundanya: nyuhun) yang dilukis oleh warga Kampung Naga. Menurut ibu penjual, gambar wanita itu adalah wanita Lombok, bukan wanita Kampung Naga. Mengapa? Aturan di sana melarang wanita Kampung Naga untuk digambar, dilukis, dan semacamnya.
Selain pouch, ada pula beras organik yang ditanam langsung oleh anak muda Kampung Naga. Ibu penjual menuturkan bahwa anak muda ini telah lulus kuliah dari luar daerah—atau bahkan luar negeri ya? (Poor my memory). Saat itu saya takjub karena ternyata generasi muda Kampung Naga sudah banyak yang bersekolah bahkan menempuh bangku pendidikan tinggi di tempat yang jauh. Mereka juga banyak yang hidup merantau dan berkeluarga di luar kampung inti sebagai upaya dalam mengatasi kebutuhan dan aspirasi.
![]() |
beras organik Kampung Naga |
Di tengah hiruk-pikuk zaman, Kampung Naga bagai oasis yang tersembunyi dalam pelukan alam dan tradisi. Kesederhanaan yang mereka pegang sebagai falsafah hidup juga menjadi pelajaran, "Teu saba, teu soba, teu banda, teu boga, teu weduk, teu bedas, teu gagah, teu pinter," yang jika diartikan secara literal bermakna, "Tidak sering pergi ke mana-mana, tidak banyak kenalan, tidak berharta, tidak punya, tidak cantik, tidak tampan, tidak gagah, tidak pintar." Dikutip dari situs mongabay.id, falsafah ini bermakna, "Jika mau hidup bahagia, warga Naga harus menjauhi kehidupan harta, tidak merasa lebih tinggi dari yang lain, dan hidup secukupnya secara bersahaja."
![]() |
masjid Kampung Naga |
Setelah puas berfoto dan berkeliling, kami memutuskan untuk naik dan pulang pada siang hari bakda zuhur. Di tangga paling atas sebelum keluar gerbang, jangan lupa untuk mencicipi air kelapa murni (langsung diminum dari buahnya) dengan harga sepuluh ribu saja! Saat kami mulai kembali naik ke atas, ada banyak rombongan wisatawan yang turun mengunjungi Kampung Naga. Jadi, bagi yang mau berkunjung ke sini, saya sarankan untuk datang pagi hari karena masih sepi dengan suasana yang syahdu.
![]() |
air kelapa |
Terakhir, terima kasih untuk Ceu Ain yang sudah menemani pengalaman berkesan ini dan menambah satu lagi core memory dalam hidup saya. Mari tambah memori baru di petualangan seru selanjutnya! ❤️
3 Comments
Baru dengar ada Kampung Naga. dan di Kampung Naga juga menghidupkan usaha para pelaku UKM dengan cidera mata yang mereka jual ya. Ini merupakan destinasi wisata yang menarik banget. Semoga makin berkembang dan makin banyak pengunjungnya
ReplyDeleteSenangnya baca liputan tentang Kampung Naga yang lengkap dan foto yang keren...berasa ikut icip kesegaran air kelapanya saya..hehe. Memang Kampung Naga adalah tujuan wisata yang menarik karena masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat dan tradisi leluhur. Sebuah pengalaman unik bisa melihat kehidupan masyarakat yang sederhana dan kental dengan budaya Sunda, jauh dari pengaruh modernisasi ini ya...
ReplyDeleteWow, luar biasa menarik Kampung Naga ini. Terima kasih banyak telah menuliskannya dengan deskriptif plus disertai foto-foto penjelas. Alhasil, saya serasa ikutan tur keliling di Kampung Naga.
ReplyDelete