novel Kambing dan Hujan


Setelah membaca novel Di Tanah Lada yang endingnya bikin bengong itu, saya kemudian makin penasaran dengan novel yang meraih juara pertama dalam ajang Sayembara Novel DKJ 2014. Kalau novel Di Tanah Lada yang seru itu bisa meraih juara dua, bukankah juara satunya juga tak kalah seru atau bahkan lebih seru? Setelah mencari tahu bahwa novel Kambing dan Hujan adalah peraih juara pertamanya, novel ini menjadi wishlist buku yang wajib saya punya! 

Di dalam sampul depan novel Kambing dan Hujan, terdapat review singkat dari Hairus Salim, seorang budayawan Nahdlatul Ulama, yang mengatakan bahwa novel ini bernilai sastrawi sekaligus 'dokumentasi sosial' yang berharga. Tentu saja hal ini membuat saya makin penasaran. Apa yang menjadikannya berharga? Dokumentasi sosial yang bagaimana yang menarik bagi para juri Sayembara Novel DKJ hingga menjadikan novel ini menyabet juara pertama? 


Tak Hanya Sebuah Roman

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, roman adalah karangan prosa yang melukiskan perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing; (cerita) percintaan. Di sampul novel ini, terdapat keterangan kecil "sebuah roman" dengan ilustrasi seorang wanita dan seorang pria yang duduk berjauhan dengan organ hati dan pembuluh yang bercabang sebagai latar. Secara umum, kita sudah bisa melihat garis besar ceritanya bukan?

Meski novel yang ditulis oleh Mahfud Ikhwan ini menceritakan perjuangan sepasang kekasih dalam memperjuangkan cinta di atas perbedaan "paham" agama, novel ini bukanlah kisah cinta biasa. Saya menemukan banyak sekali pesan, kritikan, bahkan dokumentasi sosial yang terjadi di kebanyakan masyarakat, terutama dalam masyarakat yang beda "paham" itu. Mahfud Ikhwan juga berhasil dengan sangat detail menjelaskan karakter tiap-tiap tokoh dan permasalahannya, yang rasanya sangat relate dengan kehidupan masyarakat kita. 

Pada bagian blurb dijelaskan:

"Miftahul Abrar tumbuh dalam tradisi Islam modern. Latar belakang itu tidak membuatnya ragu mencintai Nurul Fauzia yang merupakan anak seorang tokoh Islam tradisional. Namun, seagama tidak membuat hubungan mereka baik-baik saja. Perbedaan cara beribadah dan waktu hari raya serupa jembatan putus yang memisahkan keduanya, termasuk rencana pernikahan mereka. 

Hubungan Mif dan Fauzia menjelma tegangan antara hasrat dan norma agama. Ketika cinta harus diperjuangkan melintasi jarak kultural yang rasanya hampir mustahil mereka lalui, Mif dan Fauzia justru menemukan sekelumit rahasia yang selama ini dikubur oleh ribuan prasangka. Rahasia itu akhirnya membawa mereka pada dua pilihan: percaya akan kekuatan cinta atau menyerah pada perbedaan yang memisahkan mereka."

Setelah membaca bagian blurb ini, tentu sebagian besar calon pembaca akan langsung mengetahui ke mana arah cerita ini berlayar atau bahkan mungkin juga mengalami hal yang serupa. Menarik! Sungguh menarik.


Review Novel Kambing dan Hujan

Novel yang saya beli di Official Store Mizan ini berjumlah 379 halaman, tetapi tidak dirasa cukup tebal karena memang semenarik itu. Ada beberapa sudut pandang yang diambil dari beberapa karakter yang digunakan dalam cerita ini sehingga membantu pembaca dalam melihat masalah dari dua sisi yang berbeda atau bahkan saling bertolak belakang.

 

Dokumentasi Sosial Hubungan NU dan Muhammadiyah

Hubungan NU dan Muhammadiyah agaknya menjadi hubungan yang banyak diperbincangkan atau dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Sebagai dua ormas Islam yang besar, para pengikutnya dikisahkan tak jarang "bermusuhan" karena perbedaan paham fikih dan hal-hal lain. Terlebih, bagi banyak kampung yang di dalamnya terdapat dua ormas ini, biasanya memiliki sejarah tentang kemunculan keduanya dengan tensi yang agak tinggi. 

Saya tidak menyebut bahwa NU dan Muhammadiyah (atau ormas yang mirip dengannya) saling bermusuhan beneran, ya. Perbedaan-perbedaan pendapat yang dialami kedua belah pihak justru menjadi percakapan-percakapan menarik yang sebenarnya mirip hubungan love hate relationship: saling sayang, tapi seru kalau diajak debat. Mungkin, mirip-mirip begitu. Hal ini juga dicontohkan dengan begitu detail dan lengkap oleh Mahfud Ikhwan, misalnya soal perdebatan rokok, perdebatan peci dan gondrong, perbedaan 1 Syawal, perdebatan qunut, perbedaan jumlah rakaat salat tarawih, perbedaan pakai ushalli dan tidak, perbedaan sistem mencari ilmu, dan semacamnya. 

Jika Mif dan Fauzia digadang-gadang menjadi tokoh utama (seperti yang tercantum pada bagian blurb buku), justru menurut saya, Mif dan Fauzia menjadi "pemantik" kemunculan dua tokoh penting, yaitu Iskandar (bapaknya Mif) dan Fauzan (bapaknya Fauzia). Hubungan Iskandar dan Fauzan menjadi representasi hubungan ormas Islam dengan tradisi "tradisional" dan ormas Islam dengan tradisi “modern atau pembaru" yang awalnya bersatu saling sayang, tetapi harus terpisah karena perbedaan (atau kesalahpahaman?). Dengan dua karakter ini, masalah-masalah yang timbul dibuat tampak ringan meski kadang-kadang berat sehingga pembaca juga ikut berpikir, tersenyum kecil, ngangguk-ngangguk, atau bahkan geleng-geleng kepala.

 

Tentang Sejarah Kampung yang Kompleks

Setelah membaca novel ini, rasanya saya bisa memastikan bahwa kampung-kampung yang di dalamnya terdapat dua ormas Islam (apalagi yang punya riwayat salah satu ormas hadir menawarkan "yang baru atau berbeda"), sebagian besar kampung-kampung tersebut pasti memiliki sejarah dan cerita yang sama. Mengapa?

Cerita yang ditulis oleh Mahfud Ikhwan (dengan latar belakang di Desa Centong, sebuah desa kecil di Jawa Timur) memiliki banyak sekali kemiripan dengan cerita yang terjadi di kampung nenek saya, dan ternyata ini diamini oleh banyak pembaca yang merasa relate dengan daerahnya. Mahfud Ikhwan juga bahkan menulis pada lembar pertama, "Untuk para orang tua, orang-orang tua, dan orang-orang yang ceritanya aku curi dan kacaukan..." sehingga memperkuat dugaan bahwa cerita di kampungnyalah yang mendominasi ide terciptanya Kambing dan Hujan

Sebagai seseorang yang tinggal dan tumbuh di lingkungan, sekolah, dan keluarga yang heterogen (NU, Muhammadiyah, Persis), saya menemukan banyak sekali silang pendapat dan cerita-cerita unik (atau aneh) selama saya hidup. Selama 26 tahun, saya pernah tinggal di kota dengan permukiman yang padat dan heterogen, pernah belajar di sekolah dengan dua basis yang berbeda (sehingga saya sempat menghafalkan doa iftitah, doa duduk di antara dua sujud, dan doa tasyahud dengan beragam versi), juga pernah tinggal di sebuah desa dengan karakter warganya yang unik. Di antara itu semua, cerita tinggal di sebuah desa ini yang membuat saya terkadang geleng-geleng kepala. Dan, isi ceritanya, hampir 100% sama dengan cerita di novel Kambing dan Hujan, dengan tokoh dan watak yang mirip-mirip juga. 

Misalnya, tentang bagaimana keukeuh-nya orang-orang yang dituakan dalam sebuah kampung saat mendapatkan sekelompok orang dari desanya membawa "paham" baru. Sebaliknya, juga dikisahkan bagaimana bersikerasnya orang-orang dari "pembaru" dan seakan tidak bisa berbaur dan menghargai yang lain. 

Ada pula tentang silang pendapat terkait cara mendapatkan ilmu, yakni orang-orang "baru" itu mencari guru sendiri, lebih fleksibel, dan tidak mengikuti pakem yang ada. Seperti yang dijelaskan berikut ini,

"Persis saat bicara soal bagaimana Ali memperoleh ilmu agamanya, hal yang sangat penting dalam tradisi santri, di situlah orang berubah pandangan soalnya." (hlm. 81)

Lalu dijelaskan dalam sudut pandang yang lain,

" ... Jika hanya belajar dari kiai-kiai di pondok, tentu Mas Ali tidak akan tahu tentang sejarah munculnya kaum pembaru, sepak terjangnya, pola pikir yang mereka anut, dan cara penyebarannya hingga sampai di Indonesia, termasuk juga kelemahan-kelemahannya. Itu semua jelas tidak ada dalam kitab-kitab kuning berhuruf Jawi itu. Itu tidak mungkin diajarkan oleh para kiai di pondok." (hlm. 173)

Selain itu, ada pula istilah masjid selatan dan masjid utara (di kampung nenek saya diistilahkannya masjid kaler dan masjid kidul) sebagai tempat ibadah tiap-tiap kelompok orang yang berbeda paham ini. Dengan begitu, terlihat sangat menarik saat tiba waktu salat dan azan berkumandang, tampak warga desa saling berpapasan ke arah masjid yang berbeda. Bahkan, orang yang rumahnya dekat dengan masjid selatan pun memilih salat di masjid yang lebih jauh (utara), begitu pun sebaliknya.

Tak hanya soal perbedaan pendapat ini, Kambing dan Hujan juga mengangkat tema roman yang terlihat pelik. Hal ini juga membuktikan bahwa menikah dengan orang yang satu kampung (atau masih dekat dari rumah) akan lebih banyak tantangannya, seperti yang dialami Mif dan Fauzia. Selain karena faktor beda paham agama, faktor hubungan sosial antardua keluarga juga bisa menjadi faktor yang besar. Para orang tua dari kedua belah pihak yang memiliki riwayat hubungan yang buruk, tentu akan sulit merestui tiap-tiap anaknya bersatu dan berbesanan, bukan? Kecuali jika tensi ego kedua belah pihak sudah dipadamkan masing-masing, hehehe


Hal-Hal Menarik Lainnya

Semua yang bersitegang biasanya membutuhkan pelerai atau penengah. Ini menjadi salah satu yang menarik pada Kambing dan Hujan. Di bagian ending cerita, pengarang menghadirkan tokoh Anwar sebagai penengah di antara kubu Mif dan kubu Fauzia. Menariknya lagi, Mahfud Ikhwan menyelipkan beberapa punchline dan sindiran dari peristiwa yang terjadi dalam cerita. Adanya kelakar-kelakar halus juga berhasil membuat pembaca sangat terhibur dan puas. 

Selain bagian ending, pemilihan kata "kambing dan hujan" sebagai judul juga menjadi hal yang menarik dan tidak biasa. Saya kira, kambing dan hujan tidak jauh dari latar kondisi tokoh Iskandar dan Fauzan yang masa mudanya sebagai penggembala kambing sehingga kambing menjadi hal yang sangat familiar bagi keduanya. Padanan kata "hujan" untuk kata "kambing" juga dianggap menarik karena sesungguhnya kambing tidak suka hujan. Rasanya tak mungkin kambing menyengaja hujan-hujanan karena hewan ini menghindari hujan dan genangan air. Judul ini bisa merepresentasikan hubungan Iskandar dan Fauzan yang di awal tampaknya tidak bisa bersatu kembali. 

Meski banyak hal menarik yang bisa pembaca nikmati, saya agak tidak setuju terhadap sebuah pernyataan dalam novel ini yang mengatakan bahwa orang-orang pembaru hanya mencari sumber dari Al-Qur'an saja (pasalnya, saya juga pernah mendengar pernyataan serupa dari seorang kakak kelas zaman Aliyah dulu). 

"Mereka memilih untuk kembali sepenuhnya hanya kepada Al-Qur'an. Mereka tidak mau mengikuti para ulama pengikut lima mazhab karena tidak mau taklid, tidak mau mengekor." (hlm. 171)

Padahal, yang saya ketahui, anggapan mencari sumber hanya kepada Al-Qur'an itu salah. Lebih tepatnya, kembali kepada Al-Qur'an dan Sunah (termasuk hadis sahih; hadis yang benar-benar sampai dari Rasulullah secara sahih). 

Pada akhirnya, novel Kambing dan Hujan menjadi salah satu novel favorit saya karena bisa menggambarkan dokumentasi sosial yang utuh dan begitu apik! Ada banyak pesan yang bisa kita dapatkan setelah membaca novel ini, dan tentu menjadi hiburan bergizi untukmu!  


Beli novel Kambing dan Hujan yang bisa kamu pilih di sini:

Related Posts